14 Mei 2011

Jangan Beperilaku Seperti Anak Kecil

Seorang gadis kecilpun sibuk menghafalkan bacaan dalam shalat, lucu aku melihatnya walau kadang2 aku sering mengganggunya tapi dia belajar terus dengan tekun. " In-na sha-la-ti  Wanu-suki wa....wa....wama mati, wama ya ya...." dengam polosnya dia menghapal tanpa ada perasaan bersalah "eh...eh...salah, masa mati dulu baru hidup. Yang bener Wa ma ya ya wa ma mati"  aku mencoba membenarkan. Dasar anak kecil diapun membantah "kak, kan semua sudah disebutkan pasti Allah juga tahu kok maksudnya" hehe...aku hanya tersenyum simpul melihat ocehannya, bagaimana aku mesti menjelaskan pada anak kecil yang polos ini. Mereka belum memiliki pemahaman yang benar apalagi disuruh mengerti artinya. Akhirnya akupun mengalah, dan berusaha meluruskannya "Begini ya de, kalau belajar menghafal bacaan shalat  itu harus tahu artinya, nah kalau ga tahu ya seperti itu tadi wa...wa...ma..macet, eh salah lagi...nah andaikan ade pake kaos kaki di kepala lantas pake kerudung di kaki..bener ga...?" Anak kecilpun tertawa dan..."Masa kerudung jadi kaos kaki, terus kaos kaki di kepala....?" Itulah sekelumit kehidupan anak kecil dengan pemikiran yang masih dangkal sehingga sulit sekali menerima pemahaman yang benar. Akankah kita seperti anak kecil....?

Dari Anak kecilpun kita bisa belajar

“Namanya juga anak-anak”, begitu kira-kira ungkapan yang sering kita dengar dalam keseharian kita, sebagai tanda maklum kita atas kelakuan yang kurang patut yang dilakukan seseorang yang belum mengerti hakekat kebenaran, yang sering kita sebut anak-anak. Ada banyak pelajaran yang dapat kita ambil dari perilaku anak-anak disekitar kita untuk mengukur tingkat kedewasaan dalam pemikiran. Seseorang bertanya seperti ini "Adakah manusia di dunia yang jauh dari ketentuan syariat tetapi ibadahnya luar biasa....?" Wah..wah...pengen disebut luar biasa tanpa mengikuti syariat, ya jadinya seperti anak kecil tadi. Aku jadi teringat ketika sahabat mengatakan ini "Memang tidak mudah kalau belajar ilmu agama hanya terpaku kaku pada nalar dan logika, apalagi belajar dengan tidak menggunakan pedoman Al-Qur'an, hadist Nabi, Fatwa dan Ijma para ulama, semua nyaris hanya disandarkan pada nalar dan logika. Jadinya semua agama dan ajaran dibenarkan karena semua tetap mengajarkan kebaikan, padahal baik menurut kita belum tentu baik menurut Tuhan".

Seringkali orang banyak tidak tahu tapi tidak mau bertanya, yang ada hanya ngotot sesuai dengan logika dan nalar yang dianggapnya sudah 100% benar. Cobalah mari bandingkan dengan sifat anak kecil, anak kecil ini sifat ingin tahunya teramat besar sehingga jika disikapi secara benar keingintahuan yang besar ini dapat kita arahkan untuk belajar ilmu yang bermanfaat bagi kita. Mereka juga jujur dan polos sehingga dengan kepolosannya mereka tak segan untuk bertanya. Hal ini berbeda jauh dengan orang dewasa, mereka tidak tahu dikasih tahu ga mau tahu yang  ada tetap bersikukuh pada pendiriian yang salah dan sudah jelas malu untuk bertanya.

Anak kecil itu paling suka pamer..lihat anak kita, ketika dia memiliki atau mengerjakan sesuatu, dia suka cerita/pamer kepada teman-temanya. Pun demikian dengan kita, kita akan dengan mudah mengatakan bahwa ilmu agama itu cukup menggunakan logika dan nalar, perilaku seperti ini tak beda jauh seperti yang digambarkan anak kecil. Artinya dia baru tahu sedikit lantas dia bisa berteriak mengatakan hal- hal yang jelas2 tidak mungkin. Itu suatu gambaran kekanak-kanakan kita dalam beribadah, ujung-ujungnya habis pada akhir kata yang penting semua mengajarkan tentang kebaikan. Jika sudah begitu kita pun harus mempertanyakan kedewasaan kita dalam mempelajari ilmu agama.

Anak kecil itu paling suka seenaknya sendirii, Pantas atau tidak, benar atau salah, bukan urusan, yang penting “aku”. Itu sifat sebagian anak kecil. Seseorang yang telah memiliki tingkat kematangan dan kedewasaan, akan selalu mengukur ucapan dan tindakannya dengan tiga barometer. Apakah apa yang akan kita  katakan/lakukan sudah sesuai dengan “syariat”, apakah sudah dilakukan dengan “thareqat” yang benar dan apakah ucapan dan tindakan kita mampu mencapai “hakekat” sebagaimana adanya. Orang yang suka bicara dan berbuat seenaknya sendiri, harus kembali meninstropeksi tingkat kedewasaanya.

Anak kecil itu suka memaksakan kehendak, ”Pokoknya saya mau ini”, itulah ungkapan yang sering kita dengar ketika seorang anak menginginkan sesuatu. Tidak peduli apakah pilihannya tepat atau pantas bagi dirinya, tidak peduli dengan pendapat dan nasehat dari orang tuanya, yang mungkin lebih tahu kepatutan dan kebutuhannya. Itulah kita, yang terkadang memaksakan kehendak dan keinginan kita walaupun kadang2 menyalahi aturan. Semuanya hanya cukup diukur dengan logika dan nalar kita, tidak peduli terhadap petunjuk dari Allah yang lebih tahu kebutuhan hambanya.

Anak kecil itu belum tahu tanggung jawab, sehingga maklum jika seorang anak yang belum dewasa belum memiliki tanggung jawab, baik secara pribadi maupun tanggung jawab kolektif. Tapi jika kita yang sudah memasuki usia hampir setengah abah masih belum memiliki tanggung jawab terhadap syahadat kita, maka kita harus kembali bercermin, benarkah kita sudah dewasa. Kalimat syahadat adalah kalimat yang sarat makna dan mengandung berbagai konsekuensi. Ketika kita berikrar bahwa “tiada ilah yang berhak diibadahi, artinya kita secara akidah dan moral harus bertanggung jawab untuk melaksanakannya dengan penuh tanggung jawab dan meninggalkan ilah-ilah selainya. Ketika kita berikrar bahwa Muhamad adalah Rosul-Nya, maka kita harus secara dewasa menjadikan beliau sebagai the only one teladan yang harus kita ikuti.

Itulah sekelumit gambaran dan hikmah yang dapat kita ambil untuk mengukur tingkat kedewassan kita melalui anak kita.

Belajar Ilmu Agama Harus Benar

Benar....benar.... yang bagaimana...?
Benar itu maksudnya harus sesuai syariat dan berpedoman pada Al-Qur'an dan Hadist. Belajar ilmu agama itu harus tahu hukum syariat sehingga kita dapat memahami secara benar sehingga semuanya tidak hanya terbatas pada nalar dan di interprestasi dengan logika. Hukum syariat tersebut harus benar2 dipelajari dan dipahami. Ibarat kita memakan mangga makanlah dagingnya jangan kulitnya ataupun bijinya.  Iman itu harus melangkah lebih dalam,  bukan hanya di kulit, di tepian, dalam ketakutan, keraguan. Tapi bukan pula keterlampauan, ekstrim, merasuk hingga menelan biji, merakus hingga aniaya.
"Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi. Maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata. {TERJEMAHAN DATA SUCI Q.S. Al-Hajj (22) : 11}"

Iman kita akan terus berkurang dengan sebab ketidaktahuan kita tentang Islam, Iman, Kufur, Syirik, dan dengan sebab banyaknya dosa dan maksiyat yang kita lakukan ! Bukankah Iman kita jauh lebih berharga daripada hidup ini ? Dari sekian banyak waktu yang kita habiskan untuk bekerja, berusaha, bisnis, berdagang, kuliah dan lainnya, apakah tidak bisa kita sisihkan sepersepuluhnya untuk hal-hal yang dapat melindungi Iman kita ?

Setiap muslim harus memahami esensi ajaran al-Qur’an dan as-Sunnah yang shahih menurut pemahaman orang-orang shalih terdahulu. Oleh karena itu ia harus tahu agama Islam dengan dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah sehingga ia dapat mengamalkan Islam ini dengan benar.

                                                                    ~ Salam Ukhuwah ~


Tidak ada komentar:

Posting Komentar