8 Mei 2011

Prinsip Pribadi Muslim


Prinsip (41-50) Dari 
61 PRINSIP PRIBADI MUKMIN


 Klik Catatan Sebelumnya :  


41. Ketenangan hati

Ketenangan adalah akhlak para pemilik akal yang cerdas, ilmu yang kokoh, keimanan yang kuat, dzikir yang tulis, dan kebenaran yang hakiki. Yaitu ketenangan hati, tanpa adanya goncangan.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d {13}:28).

Kunci ketenangan dan ketentraman hati adalah dzikrullah dengan cara selalu membaca kitab-Nya dan merenungi ayat-ayat-Nya.

42. Memiliki sifat cemburu

Seorang hamba yang shalih memiliki sifat cemburu terhadap dienul dan aqidahnya, terhadap kemuliaan dan kehormatan dirinya, serta terhadap nilai-nilai dan segala yang menjadikannya mulia. Merasa cemburu terhadap larangan-larangan atau batasan-batasan Allah jika sampai dilanggar oleh manusia, dan juga cemburu terhadap kebenaran jika sampai direndahkan oleh manusia.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Katakanlah: "Rabb-ku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui." (QS. Al-A’raaf {7}:33).

43. Tidak berlebih-lebihan

Laki-laki yang shalih menempuh jalan yang seimbang (tengah-tengah), yaitu antara berlebihan dan mengabaikan, antara kelewat batas dan kurang, serta antara ekstrim dan ‘menyepelekan’.

Jalan tengah adalah jalan lurus yang ditempuh olehnya. Jalan ini tidak akan memalingkan orang yang menempuhnya, menuju satu sisi dengan mengalahkan sisi yang lain, sehingga tidak seimbang.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS. Al-Furqaan {25}:67).

44. Menjaga kemuliaan diri

Orang yang shalih selalu menjaga kemuliaannya, karena kemuliaan manusia itu sangatlah mahal. Di samping itu, ia juga menghormati kemuliaan orang lain. Kemudian adalah perasaan seseorang mengenai eksistensi dirinya sebagai makhluk yang mulia, di samping (juga) memuliakan orang lain.

Allah subhanahu wa ta’ala, “Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS. Al-Isra’ {17}:70).

45. Tidak mengganggu orang lain

Seorang muslim hendaknya benar-benar mewaspadai tindakannya sendiri dari perbuatan yang sekiranya dapat mengganggu orang lain. Termasuk di dalamnya adalah tindakan yang dapat mengganggu kenyamanan masyarakat umum.

Salah satu kebiasaan yang tidak baik, yang masih sering dijumpai adalah duduk-duduk di jalan tanpa ada tujuan yang bermanfaat. Perbuatan tersebut sudah dilarang sejak Rasulullah ada, karena membuat orang yang ingin lewat menjadi tidak nyaman.

Al-Bukhari, Muslim dan Abu Dawud meriwayatkan dari Abu Sa’id, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Hindarilah duduk-duduk di jalanan!” Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, kami tidak punya tempat duduk lainnya yang kami pakai untuk bercakap-cakap.” Beliau saw kemudian bersabda, “Jika kalian tidak mau, maka berikan hak kepada jalan!” Mereka bertanya, “Apakah hak jalan itu, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Menundukan pandangan, tidak mengganggu, menjawab salam, serta memerintahkan yang makruf dan mencegah kemungkaran.”

46. Selalu tenang dalam bertindak

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Kemudian, Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang yang beriman.” (QS. At-Taubah {9}:20).

Keterangan diturunkan Allah kepada Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman. Ketenangan muncul dari ketundukan dan kepasrahan kepada Allah swt, serta keyakinan akan kekuasaan, perlindungan dan pertolongan-Nya. Semua itu akan tercermin dari ketenangan dalam berpikir, berbicara, memutuskan sesuatu, dan dalam bertindak.

47. Pemberani

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Rabb-nya dengan mendapat rezki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Ali Imran {3}:169-170).

Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin Abu Aufa bahwa Rasulullah saw bersabda, “Berangkat (jihad) pagi-pagi atau petang hari di jalan Allah adalah lebih baik dari dunia dan seisinya.”

48. Giat bekerja dan mandiri

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. At-Taubah {9}:105).

Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk giat bekerja, dan menjadi mandiri. Diharapkan dengan usahanya tersebut, seorang muslim akan bermanfaat bagi masyarakat, bukan menjadi beban.

Dalam hadits muttafaq ‘alaih disebutkan hadits dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian mau mencari seikat kayu bakar lalu dibawa di atas punggungnya (untuk dijual), maka itu lebih baik baginya daripada meminta-minta kepada orang lain, entah yang diminta itu mau memberi atau tidak.”

Al-Bukhari meriwayatkan dari al-Miqdam bin Ma’dikarib, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Tidaklah seseorang itu menyantap makanan yang lebih baik daripada makan hasil kerja sendiri! Dan sesungguhnya, Nabi Dawud makan dari hasil kerja tangannya sendiri.”

49. Jujur

Kejujuran merupakan cerminan dari kemuliaan akhlak seseorang. Di antara bukti kejujuran itu adalah jika setiap ucapan dan amal yang dikerjakan, hanyalah karena Allah dengan meninggalkan sikap pamer dan ingin mendapatkan balasan dari sesama makhluk. Kejujuran seperti itulah yang membuat seseorang berbuat konsisten dalam perbuatannya, baik saat di depan orang lain maupun saat sendiri.

Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Kalian harus bersikap jujur, karean kejujuran itu membawa kepada kebajikan, dan kebajikan itu membawa kepada surga. Seseorang masih terus bersikap jujur dan melatih kejujuran sehingga dia ditulis disisi Allah sebagai shiddiq. Jauhilah kebohongan, karena kebohongan itu membawa kepada tindakan dosa, sedangkan dosa itu membawa kepada neraka. Seorang hamba masih saja berbuat kebohongan dan terbiasa melakukan kebohongan, sehingga dia ditulis di sisi Allah sebagai pembohong.”

50. Bersikap adil

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. An-Nahl {16}:90).

Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan kepada setiap hamba-Nya untuk bersikap adil dalam segala hal. Adil di antaranya memiliki pengertian tidak berat sebelah (mengambil pertengahan) serta obyektif dalam memandang permasalahan, sebagaimana firman-Nya : “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) umat yang adil (pertengahan).” (QS. Al-Baqarah {2}:143).


by : Muhammad Dive

Tidak ada komentar:

Posting Komentar