8 Mei 2011

Prinsip Pribadi Muslim


Prinsip (31-40) Dari 
61 PRINSIP PRIBADI MUKMIN



Klik Catatan Sebelumnya :  


31. Memudahkan persoalan

Sifat hamba yang shalih adalah mempermudah dan meringankan segala urusan yang positif, baik terhadap dirinya dan orang lain. Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Anas ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Mudahkanlah dan jangan mempersulit. Gembirakanlah dan jangan buat orang lain lari.”

Memudahkan masalah dalam arti tidak membesar-besarkan masalah, menyelesaikan semua urusan secara logis dan dengan cara yang terbaik, serta dibenarkan menurut ajaran dienul Islam. Banyak hal-hal yang sangat penting menjadi terbuang sia-sia dengan mempersulit urusan yang sebenarnya mudah, di antaranya adalah waktu dan biaya.

Dengan mempersulit orang lain, berarti kita telah bersikap dzalim terhadapnya. Sedangkan Allah swt tidak pernah mendzalimi hamba-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah {2}:286).

32. Wara’

Sifat wara’ menunjukkan ciri orang yang bertakwa. Wara’ adalah sifat menahan diri dan meninggalkan setiap yang masih diragukan apakah halal atau haram (syubhat), terlebih terhadap perkara diharamkan.

Dengan demikian, seorang yang wara’ akan penuh perhitungan, berhati-hati, dan waspada dalam setiap langkah hidupnya sehingga terlindung dari perbuatan-perbuatan syubhat dan juga amal yang tidak diridhai Allah subhanahu wa ta’ala.

33. Penyantun dan murah hati

Sifat penyantun merupakan akhlak yang agung, tinggi kedudukannya, serta terpuji. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Ibrahim itu benar-benar seorang yang penyantun lagi pengiba, dan suka kembali kepada Allah.” (QS. Huud {11}:75).

Imam Muslim meriwayatkan dari Aisyah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Tidaklah sifat murah hati itu ada pada sesuatu, melainkan ia akan menghiasinya, dan tidaklah ia tercabut dari sesuatu melainkan ia akan menjadikannya buruk.”

34. Selalu menjaga lisan dan mengucapkan perkataan yang baik

Hamba Allah yang bersih hatinya, akan selalu menjaga lidahnya dari perkataan yang sia-sia apalagi kotor dan tercela seperti menggunjing (ghibah), memfitnah atau mangadu domba dan sebagainya. Sebagai umat Rasulullah saw, kita harus berhati-hati dan memperhitungkan lisan kita, karena bahaya yang ditimbulkan dari ketergelinciran lisan, yaitu neraka.

Dalam hadits riwayat Ahmad dan yang lainnya, dari Mu’adz bin Jabal ra, bahwa ia berkata, “Wahai Rasulullah, apakah kami akan di hisab atas kata-kata yang kami ucapkan?” Nabi saw menjawab, “Ibumu kehilangan dirimu hai Mu’adz! Bukankah manusia tersungkur ke dalam Nuur di atas wajah-wajah mereka, melainkan akibat dari lisan mereka?

Selain itu terdapat hadits lain, yang menjadi peringatan kepada kita untuk benar-benar menjaga lisan. Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya seorang laki-laki berbicara dalam suatu kalimat yang tiada dia sangka akan berakibat seperto itu. Allah menetapkan kemurahan-Nya atasnya sampai hari pertemuan dengan-Nya.” (HR. Malik dan at-Tirmidzi).

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Kepada-Nya-lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang shalih dinaikkan-Nya.” (QS. Father {35}:10).

35. Khusyu’ dalam ibadah

Hamba yang shalih adalah seorang yang memiliki keimanan yang mendalam dan keyakinan yang kokoh. Khusyu’ adalah kunci kesuksesan dalam beribadah. Kekhusyu’an dalam beribadah, misalnya sholat, adalah salah satu kunci diterimanya shalat oleh Allah swt, dan meresapnya shalat ke dalam hati serta jiwa, sehingga terhindar dari perbuatan yang mungkar.

Allah subhanahu wa ta’al berfirman, “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Hadiid {57}:16).

Al-Hakim meriwayatkan dari Uqbah bin Amir ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Tidaklah seorang mukmin mengerjakan wudhu secara sempurna, kemudian mengerjakan shalat dengan mengetahui apa yang diucapkannya, melainkan dia bangkit (selesai) dari shalatnya seperti ketika ibunya baru saja melahirkan.”

36. Manyayangi sesama

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiya’ {21}:107).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah rahmat bagi semesta alam. Beliau memiliki sifat penyayang dan memerintahkan kepada umatnya untuk menyayangi sesama. Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Jarir bin Abdillah bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang tidak menyayangi (sesama) maka dia tidak akan disayangi oleh Allah.”

Hamba yang shalih memiliki sifat yang penyayang baik terhadap kedua orangtua, kaum kerabat, anak yatim, dan terhadap sesama muslim maupun terhadap makhluk ciptaan Allah yang lain, seperti hewan. Ia pun tidak akan pernah berlaku zhalim terhadap yang lebih lemah, bahkan melindungi dan menyayangi mereka. Dengan sifat penyayangnya tersebut, dia akan mudah memaafkan.

Abu Dawud meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa dia berkata, “Aku telah mendengar Rasulullah saw bersabda, “Carilah aku di kalangan kaum lemah (fakir miskin), karena sebenarnya kalian diberi rezeki dan mendapatkan pertolongan karena (berkah doa) kaum lemah itu!

Dalam riwayat Ahmad terdapat tambahan, “Dan barangsiapa yang tidak mau mengampuni (memaafkan), maka dia tidak akan diberi ampunan.”

37. Tidak suka memperlihatkan aib

Hamba yang shalih harus mempunyai kecenderungan untuk menyembunyikan apa yang semestinya disembunyikan, dan menjauhkan diri dari keinginan membuka aurat. Menampakkan aib dan membongkar kehormatan.

Sikap menutupi aib seperti ini akan menyebabkan seseorang untuk terbiasa menutupi rahasia-rahasianya dan menyembunyikan hal-hal pribadi, seperti menyembunyikan sedekah dan menyembunyikan mimpi buruk yang dialaminya.

38. Memiliki kelurusan hati

Maksudnya adalah kejernihan dan kebersihan hati, kesehatannya, kekuatannya, kebersihannya, dan keterjagaannya dari segala penyakit. Hamba yang shalih adalah pemilik hati yang bersih dan murni, bersih dari segala noda syirik dan dosa.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “(Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (QS. Asy-Syu’ara’ {26}:88-89).

Dalam hadits disebutkan, bahwa Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya dalam jasad itu terdapat segumpal darah, jika segumpal darah itu baik, maka menjadi baiklah seluruh jasadnya, dan jika ia rusak, maka menjadi rusaklah seluruh jasad. Segumpal darah itu adalah hati.”

39. Memaafkan dan toleran terhadap orang lain

Hamba yang shalih adalah seorang yang suka memaafkan. Memberi maaf merupakan salah satu akhlak al-Qur’an. Dengan akhlak ini, seseorang berarti membersihkan dirinya sendiri, dan meningkatkan martabatnya di sisi Allah dan juga di mata sesama manusia.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (QS. Asy-Syu’ara’ {42}:40).

Ibnu Majah meriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Tiada sebuah doa yang diucapkan oleh seorang hamba yang lebih utama daripada doa. “Ya Allah, aku memohon maaf dan kesehatan kepada-Mu.” Dalam riwayat lain disebutkan: “Ya Allah, aku mohon kepada-Mu pemaafan di dunia dan di akhirat.”

40. Selalu melakukan ketaatan

Mereka mengatakan, “Kami dengar kami taat (sami’na wa atho’na).” (Mereka berdoa) “Ampunilah kami ya Rabb kami dan kepada Engkau-lah tempat kembali.” (QS. Al-Baqarah {2}:285).

Ketaatan adalah selalu menunaikan kewajiban, dan melaksanakan segala perintah Allah dan perintah Rasul-Nya. Ketaatan kepada Allah merupakan bukti keimanan dirinya kepada Allah.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “…Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka) …” (QS. An-Nisa’ {4}:34).


by : Muhammad Dive 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar