15 Mar 2011

Peduli Anak Jalanan

Ketika mobilku melintasi jl. Re. Martadinata, aku hampir saja menabrak seorang anak kecil, tiba2 saja anak tersebut jatuh tepat didepan mobilku. Untungnya lampu merah menyala, otomatis mobilku berhenti dan anak itupun berdiri kemudian mengetok- ngetok kaca jendela mobilku. Aku mengerti maksud dari anak tersebut ketika aku membuka kaca jendela dan hendak mengambil uang tiba2 lampu hijau menyala dan bergegas kutancap gas karena bunyi klakson dibelakangku tak henti2nya berbunyi.

Entah mengapa pikiranku selalu terbayang pada anak lelaki jalanan tadi, usianya aku perkirakan sekitar 7 tahunan. Aku jadi teringat ketika melihat sekelompok anak jalanan yang sedang 'bekerja' di siang hari yang terik dan kita menyisihkan sejumlah rizki yang kita berikan kepada salah satu dari mereka, maka sejumlah uang yang kita sedekahkan tadi akan mengalir ke seseorang yang dapat kita sebut 'bapak asuh' dan orang inilah yang mengelola uang mereka, alias anak jalanan yang mendulang emas di jalanan mereka yang menikmati hasilnya.

Belum lagi pikiranku hilang dari bayangan anak jalanan tersebut, tiba2 aku tersadar..hah..tasku mana..? rasanya aku tadi menyimpannya di jok samping tempat dudukku, masya Allah pasti ini ulah anak tersebut karena tadi aku sempat membuka kaca mobilku..kok bisa, aku tak melihatnya. Dengan rasa marah langsung aku putar arah dan bergegas aku menghampiri tempat mangkalnya anak tersebut. Namun apa yang terjadi kemarahanku tiba-tiba surut seketika manakala aku melihat kejadian yang benar2 memilukan, aku menyaksikan sendiri anak tersebut sedang dipukuli oleh seorang lelaki berperawakan tinggi besar dengan tangan penuh tatto. Aku iba melihatnya tapi aku tak berani melerai, yang lebih mengherankan lagi begitu banyak orang lalu lalang disekitarnya tak ada satu orag pun yang peduli dengan kejadian tersebut. "Pak, sudah pak..jangan dipukuli terus..lihatlah anak itu sudah tak berdaya..!" pintaku pada lelaki setengah baya tersebut sambil memberanikan diri. Laki2 itupun memandang kearahku dengan tatapan seakan ingin menerkamku "Jika bapak terus menerus memukuli anak tersebut, aku akan telp polisi..!" demikian ancamku lagi. Rupanya ancamanku kali ini manjur terbukti lelaki tersebut lari meninggalkan aku dan anak jalanan tersebut.

Kejadian ini terjadi 5 tahun yang lalu dan anak tersebut sekarang hidup bersama kami, kami sekeluarga sangat menyukainya. Dia sekarang sudah pandai mengaji dan disekolahnyapun selalu berprestasi, aku jadi teringat  kejadian pemukulan 5 tahun yang lalu, setelah kejadian itu anak tersebut memohon- mohon padaku agar dia diperbolehkan ikut denganku, karena dia sudah tak tahan lagi selalu diperlakukan kasar dan kejam oleh orang2 disekitarnya selain itu diapun selalu dituntut untuk selalu menghasilkan uang. Dia benar2 akan berbuat baik dan tidak akan mengecewakanku dan dia akan membuatku bangga padanya begitu janjinya, kini akupun mulai membenarkan kata-katanya dan aku memang bangga padanya.

Setiap sore aku selalu mendengar lantunan suaranya mengumandangkan ayat2 suci Alqur'an bebarengan dengan anak2ku yang lain, dan setiap hari pula suasana rumah selalu dipenuhi perasaan suka cita karena memang kami sekeluarga benar2 menyayangi dia. Aku begitu bersyukur dipetemukan dengannya, bahkan aku sudah menganggapnya seperti anak kandungku sendiri."Jali" begitu kami biasa memanggilnya, tiap pagi dialah yang selalu menyirami tanaman dan dia pulalah yang paling rajin membersihkan perabotan di rumah, padahal aku sudah melarangnya tapi dia tetap bersikeras melakukannya alasannya karena aku sudah berbaik hati padanya dan dia mencoba membalas budi padaku begitu katanya. Aku selalu tersenyum melihat tingkah polahnya...

Suatu hari aku cukup dikejutkan dengan permintaannya yang aku anggap aneh, dia memelukku erat sekali sambil memohon padaku agar dipertemukan dengan kedua orang tuannya. Aku kaget mendengarnya "Bukannya kedua orang tuamu sudah meninggal...?" tanyaku padanya, dia menggeleng dan berkata "Aku tak tahu, tapi aku ingat satu tempat dimana aku bisa berjumpa dengan kedua orang tuaku dan Bapak yang memukuli aku itulah yang tahu dimana kedua orang tuaku". Perasaanku jadi tak karuan mendengar itu semua dan dia semakin erat memelukku seolah tak mau melapaskannya, kamipun berpelukkan tanpa kusadari bajuku terasa basah oleh linangan air matanya dan akupun menangis haru dibuatnya tak lupa kuselipkan janji padanya bahwa besok aku akan mempertemukannya dengan kedua orang tuannya.

Keesokan harinya rutinitas pagi seperti biasa, aku menyiapkan sarapan untuk suamiku dan anak2ku yang lain tapi kali ini tak seperti biasanya tingkah jali sangat aneh, dia hanya memakan sarapannya separonya dan itupun terlihat malas mengunyahnya. Aku paham, barangkali inilah luapan rindu pada kedua orang tuanya. Seperti biasa aku mengantarkan kepergian suami dan anak2ku sampai di pintu, lagi2 terlihat kejanggalan pada jali, saat dia hendak memasuki mobil suamiku dia berbalik arah padaku dan memelukku erat sambil menciumi aku "cepat pergi, nanti Bapak marah..!" demikian pintaku.

Hari itu pikiranku tak lepas dari jali, kemana aku harus mencari kedua orang tuanya....? aku akan berusaha menemukan Bapak angkatnya di jalanan begitu pikirku. Tiba2 suara telpon mengagetkan aku, bergegas aku menjawab bunyi telpon tersebut namun...aku tak sanggup lagi mendengar suara di ujung telpon itu, tubuhku serasa gemetar dan kakiku lemas tak sanggup lagi menopang tubuhku aku terduduk lemas dengan perasaan yang tak menentu. Jali dinyatakan meninggal dalam sebuah kecelakaan tepat di lampu merah perempatan jl. Re. Martadhinata tempat pertama kali aku menemukannya. Inilah jawaban dari permintaan terakhirnya....

Aku kembali disini, duduk di antara rerimbunan bogenvile merah muda ini. Tak banyak yang berubah dengan tempat ini, masih indah, sejuk. Mungkin kalaupun ada yang berbeda, saat ini kami tak bersama jali lagi. Dulu kami sering duduk disini, bercerita tentang apa saja, bersenda gurau, Ah… kami rindu saat itu. kenangan itu tak mudah lepas dari ingatanku hari-hari telah berlalu, namun kenangan tentang jali tak pernah sedikitpun terganti.

Sayangku, maafkan... kali ini aku menjengukmu sejak kepulanganmu.  Jika kami jarang menjengukmu, bukan berarti karena kami ingin melupakanmu naak. Tapi karena .… terasa berat melihat gundukan tanah merahmu itu bagi kami. Gundukan tanah merah itu seolah mampu meluruhkan tulang belulangku, menguncupkan jantungku, hingga aku takut tak bisa menguasai diriku. Sedang, tak ingin kuteteskan lagi air mata di pusaramu itu. Tak ingin aku tergugu pilu saat menjengukmu. Karena ku ingin kau melihatku tersenyum. Maka, cukuplah kulantunkan doa-doa untukmu dari atas sajadah, sambil menangis lirih di lorong sunyiku. Anakku, hari ini kami datang, untuk melihatmu. Melihat pusaramu, sungguh hatiku ikhlas melihat gundukan tanah merah yang menutupi tubuhmu dan sejatinya kau tetap tersenyum. Ijinkanlah kami membuatkan  batu nisan bertulis namamu, ya naak. Untuk mengingatkan kami, bahwa kau telah memberikan kebahagiaan yang begitu indah selama ini pada kami sekeluarga. Bahwa ajal tak mengenal usia, dan bahwa kelak kami pun akan menyusulmu, satu demi satu.

Sayangku, lihatlah naak. Kami semua datang mengelilingimu sore ini. Datang dengan segunung rindu, membayangkan kenangan indah bersamamu. Kakakmu dengan penuh sayang mencabuti rumput2 liar di sekitar makammu. Juga adikmu, yang mungkin masih bertanya-tanya mengapa kau pergi begitu cepatnya. Kami semua  saling bantu memasang batu nisanmu.Dan lihatlah naak orang yang dulu selalu memukulimu dia berada diantara gundukan tanah merah penutup tubuhmu, kini... dia telah menyesali perbuatannya naak dan dia telah membayarnya di balik terali besi untuk menebus semua kesalahannya, sekarang dia datang untukmu naak.....maafkanlah kesalahannya. Teriring untaian doa untukmu naak,,semoga engkau damai disisiNya.....Aaamiin....

"Tulisan ini dibuat, demi mengguggah kepedulian terhadap anak2 jalanan yang nyata2 masih banyak berkeliaran dan sangat membutuhkan uluran tangan2 dermawan yang peduli terhadap nasib mereka"

EP 16032011



Tidak ada komentar:

Posting Komentar